Panggung di depan mendadak gelap. Tapi teriakan penonton, yang kebanyakan para gadis remaja itu, semakin menjadi-jadi. Begitu lampu menyala, pekikan itu kian menggila. Di bawah sorot lampu, berdiri sembilan sosok lelaki yang begitu dinantikan, kelompok boy band sohor dari Korea Selatan: Super Junior.
Cho Kyu-Hyun, anggota termuda kelompok musik itu langsung tampil ke depan. Dia menggantikan Choi Si Won, yang tak bisa hadir di konser bertajuk Korean Idols Music Concert In Indonesia, di Istora Senayan Jakarta, Sabtu 4 Juni 2011 malam itu. Kyu Hyun cs langsung menggedor para penonton Indonesia dengan hentakan irama Bonamana, lagu andalan album teranyar mereka.
Gustidha Budiartie, 24 tahun, larut di antara sekitar 8000 penonton yang tak henti berteriak histeris di sepanjang lagu. Gusti yang berada di jejeran depan kursi VIP sebelah kanan panggung, seperti bermimpi. Malam itu ia hanya berjarak sekitar delapan meter dari para lelaki yang selama ini hanya bisa ia pandangi di layar laptop saja.
“Saya sudah mulai mengidolakan SuJu sejak 2007, bahkan sebelum serbuan Korean Wave masuk ke Indonesia,” kata Gusti mengenang awal ketertarikan dia kepada kelompok Korea itu. SuJu adalah julukan akrab Super Junior.
Sejak itu, ia dan penggemar SuJu lainnya terus berjibaku menyukseskan petisi para penggemar Indonesia agar band kesayangan mereka itu bersedia tampil di sini.
Dan malam itu, mimpi mereka yang menjadi kenyataan.
***
Gegap gempita musik pop Korea atau disebut juga dengan Kpop memang tengah melanda dunia. Tak cuma Gusti dan ribuan remaja Indonesia, tapi juga para remaja di seantero bumi, tak terkecuali mulai dari Malaysia, Filipina, Thailand, Jepang, Uzbekistan, Eropa, Kanada hingga Amerika Serikat.
Ludesnya tiket konser Kpop di Le Zenith de Paris concert hall, pada 10 Juni dan 11 Juni lalu mungkin bisa menjadi bukti di mana pengaruh Kpop juga telah mendapat tempat di hati para penggemarnya di Eropa. Awalnya, konser yang menampilkan kelompok-kelompok musik TVXQ, SNSD, Super Junior, SHINee, dan f(x) itu adalah pertunjukan tunggal yang sedianya hanya dilakukan satu malam.
Tapi apa boleh buat. Animo membludak. Hanya dalam 10 menit, ribuan tiket ludes. Pengunjung tak hanya datang dari Perancis. Ada pula yang langsung datang dari Spanyol dan Italia. Mereka membuat petisi menuntut agar pertunjukan diperpanjang menjadi dua malam. Mereka juga menggelar demonstrasi menuntut hal yang sama di Museum Louvre. Petisi dikabulkan.
Seperti dilaporkan KoreaHerald.com, dalam satu malam, lebih dari 7000 penggemar, larut dalam konser. Selama sekitar tiga jam, mereka bergoyang dan bernyanyi bersama. Penyelenggara memperkirakan hanya sekitar 2 persen dari seluruh total pengunjung adalah penonton Korea. Berikutnya, media-media Perancis seperti Le Monde, Le Figaro, mendefinisikan konser itu sebagai sebuah “new sensation”.
Fenomena seperti itu bahkan bukan barang baru bagi publik pecinta K-pop di Amerika Serikat. Pada acara ‘SM Town Live 2010 World Tour in LA’ yang digelar September 2010, sekitar 15.000 fans berkumpul di Los Angeles menyaksikan Kangta, BoA, U Know, Max, Super Junior, SNSD, SHINee, f(x), Zhang Li Yin, dan Trax.
Saat itu, penonton yang merupakan orang Korea hanya sekitar 30 persen dari semua penonton. Sementara pengunjung dari Asia lainnya sekitar 20 persen dari semua jumlah pengunjung. Sisanya, adalah penonton yang tak Cuma berasal dari Amerika Serikat, namun juga dari Eropa serta Amerika Latin.
Tapi, mengglobalnya K-pop tidak hanya terlihat di p[anggung-panggung konser Kpop di negara barat. Tengoklah ke salah satu negara di Asia Tengah, macam Uzbekistan, misalnya. Bekhzod, seorang mahasiswa di Tashkent, setiap hari memulai harinya dengan menyetel lagu ‘Gee’ yang dibawakan SNSD. Lagu itu pula yang dijadikan sebagai alarm ponselnya. Ia tak mau ketinggalan menonton drama Korea Queen Seondeok melalui layar TV Samsung, saat sarapan bersama keluarganya.
***
Menurut pengamat musik tanah air, Bens Leo, kebangkitan industri Musik Korea muncul setelah adanya kebangkitan musik Jepang (J-pop). Bila sebelumnya Jepang bangkit dengan kelompok band-nya, Korea bangkit dengan kelompok vokal, baik boy band maupun girl group.
Kebangkitan musik K-pop ini, kata Bens, sudah dipersiapkan sejak lima tahun lalu, karena Korea Selatan punya semangat untuk mendapatkan pengakuan agar negara mereka diakui sebagai salah satu pusat budaya lain selain Jepang. “Jadi ini bukan sesuatu hal yang instan,” kata Bens.
Kelompok vokal Korea itu, Bens menjelaskan, digembleng begitu lama di bawah tim manajemen yang ketat, dan mereka tak akan berani menelurkan album secara sembarangan. Mereka, kata Bens, sangat memperhatikan detil penyusunan reportoire lagu, pemilihan personil, hingga pemilihan fashion.
Sebab, seperti Jepang, musik Korea ini punya dua unsur utama, yakni fashion dan musik itu sendiri. Oleh karena itu biasanya K-pop ini mengusung dance music, beraliran hiphop, kadang diselingi unsur rap, serta unsur koreografi dan kostum menarik. Di sini, ketampanan atau kecantikan ragawi lebih bunyi, ketimbang kualitas penciptaan musik oleh mereka sendiri.
Di dalam negeri, kata Bens, sampainya pengaruh K-pop ini bisa dibilang terlambat setahun daripada tren yang terjadi di berbagai negara. Di Indonesia, pengaruh K-pop ini ditandai munculnya kelompok asal Bandung beraliran K-pop bernama Smash, yang kerap dikritisi oleh para pecinta K-pop Indonesia, karena dianggap meniru sebuah kelompok asal Korea yang juga bernama Smash (sekarang sudah bubar).
Beberapa waktu lalu, Smash baru saja merilis album baru berisi 10 lagu. Di antaranya, ada lagu yang diciptakan oleh seorang pencipta lagu dari Malaysia, sebuah lagu karangan Yovie Widianto, serta sebuah lagu recycle yang pernah dibawakan Trio Libels, berjudul ‘Gadisku’ (karangan alm. Kendi Kamandalu).
Selanjutnya, menurut Bens, seperti halnya J-Rocks yang mampu bertahan sebagai band Indonesia beraliran Jepang, Smash berpeluang untuk bisa bertahan menjadi kelompok vokal Indonesia beraliran K-pop. “Posisinya relatif lebih aman ketimbang kelompok K-pop yang datang belakangan,” ujarnya.
***
K-pop. Sebetulnya itu hanya salah satu bentuk serangan gelombang kebudayaan Korea (Korean Wave). Secara umum, gelombang budaya Korea atau lebih dikenal dengan istilah ‘Hallyu’, juga menyerbu dunia melalui berbagai produk kebudayaan lain, seperti film, serial drama TV, video game, bahkan kartun atau animasi Korea yang lebih dikenal dengan Manhwa.
Keberhasilan Korea mengekspor industri hiburan dimulai sejak akhir 1990-an. Ketika itu serial drama TV mereka mulai disiarkan di berbagai negara seperti Jepang, China hingga negara-negara Asia Tenggara. Pemirsa TV di Indonesia tentu masih ingat sejumlah drama seri Korea seperti Winter Sonata, Endless Love, My Sassy Girl Choon Hyang, atau Boys Before Flower, yang juga diputar di stasiun TV lokal.
Seperti diprediksi oleh Korea Creative Content Agency, tahun ini Korea Selatan akan terus mengekspor konten seperti games, serial drama TV, musik, hingga mencapai nilai US$ 3,8 miliar (sekitar Rp 32,5 triliun). Jumlah itu meningkat dari 2007, di mana Kementrian Budaya, Olahraga, dan Pariwisata Korea Selatan mencatat, ekspor konten hiburan tahun itu baru sekitar US$ 1,4 miliar (sekitar Rp 12 triliun).
Dalam sebuah artikel di KoreaHerald, Lee Soo-man, seorang perwakilan dari agensi musik SM Entertainment (manajemen Super Junior dan SNSD), mengatakan bahwa ‘teknologi kebudayaan’ Korea akan dikembangkan dalam tiga tahapan.
Pertama, mengekspor produk budaya Korea ke luar negeri. Kedua, memperluas jangkauan pasar melalui berbagai kerjasama dengan lembaga luar negeri. Dan terakhir, melokalisasi K-pop serta berbagi nilai tambah. Strategi ini merefleksikan keyakinan mereka atas kualitas produk, seperti halnya yang telah mereka buktikan di Paris, tiga pekan lalu.
Menurut Sung Tae-Ho, salah seorang Senior Manager di Korean Broadcasting System (salah satu jaringan TV besar di Korea), salah satu kunci keberhasilan industri kebudayaan Korea, khususnya di Asia, adalah karena konten mereka berkualitas, namun relatif lebih murah dibandingkan produk sama dari Barat.
Konten dari Korea, misalnya serial drama TV, lebih populer daripada serial Barat, mungkin juga karena mengandung nilai Asia lebih kental. “Walaupun bahasa kami berbeda, kami memiliki kesamaan mentalitas ketimuran. Kami menghormati kedua orang tua kami, serta hirarki komunitas,” kata Sung , dikutip oleh situs CNN.
Didasari latar belakang kebudayaan itulah, kata Sung, tak ada hambatan kultural bagi konten Korea di Asia.”Ini seperti sebuah sindrom. Orang-orang Asia memang menyukai konten-konten Korea,” Sung menambahkan.
***
Apa yang dikatakan Sung, juga persis dialami Putri Maya Astuti, 23 tahun, seorang mahasiswi kedokteran gigi di Universitas Indonesia. Berawal dari menyenangi drama seri TV Korea, belakangan Putri kesengsem musik K-pop yang dibawakan oleh SHINee dan Super Junior.
Putri berusaha mengoleksi segala rupa terkait grup musik Korea itu. Mulai dari album, DVD asli, kalender, novel, tempat minum, kaos, tas, poster, handuk kecil, gelas, mug, mie remes, gantungan kunci, light stick, kipas, gelang, clearfile, hingga kartu pos.
Tak sekadar mengumpulkan barang, ia juga bertandang sampai ke Malaysia demi menjumpai kelompok band pujaannya itu. Bahkan, Putri juga rela kursus bahasa Korea, dan berusaha menularkan kegandrungannnya terhadap K-pop kepada rekan-rekan mahasiswa lain di universitasnya.
“Saya ini termasuk menjadi virus K-pop di kampus saya. Saya coba pengaruhi yang lain untuk ikut menyukai K-pop,” kata Putri. Kini, beberapa temannya yang awalnya tak suka K-pop, telah ‘teracuni’ dan justru lebih update tentang informasi K-pop ketimbang dia. “Saya berasa menjadi virus,” kata Putri sambil tersenyum.
Sampai hari ini, Hallyu, K-pop, serta gelombang budaya pop Korea lainnya, masih terus menyebar, seperti virus.(np)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar